Materi Virus
Posted by : Wahyu Dimas
Sabtu, 01 Desember 2018
Jaka Tarub Anak Angkat Mbok Randa Tarub
Di desa Tarub, tinggallah seorang ibu bernama Mbok Randa Tarub. Ia hidup sebatang kara, oleh karenanya Mbok Randa Tarub kemudian mengangkat seorang anak laki-laki yang ia beri nama Jaka Tarub. Mbok Randa Tarub mengasuh anak angkatnya dari kecil hingga dewasa dengan penuh kasih sayang layaknya anak sendiri.
Setelah dewasa, Jaka Tarub tumbuh menjadi seorang pemuda yang rajin bekerja membantu ibunya. Jaka Tarub juga memiliki wajah sangat tampan. Sering ia berburu binatang di hutan menggunakan sumpitnya. Ketampanan dan ketangkasannya membuat banyak gadis-gadis desa jatuh hati padanya, namun Jaka Tarub belum berniat untuk berumah tangga. Mbok Randa Tarub sering berkata bahwa ia menginginkan Jaka Tarub segera menikah.
“Jaka, Mbok ingin kamu segera menikah. Usiamu telah mencukupi untuk berumah tangga. Wajahmu kan tampan, jadi mudah saja bagimu untuk mencari gadis cantik yang kamu suka.” ujar Mbok Randa Tarub suatu ketika.
“Mbok, saat ini Jaka belum menginginkan untuk memiliki pendamping hidup. Akan tiba saatnya nanti Jaka akan mencari istri.” jawab Jaka Tarub.
“Baiklah, jika itu kehendakmu Jaka. Mbok hanya mendoakan yang terbaik bagimu. Mbok sangat menyayangi Jaka.” ujar Mbok Randa.
Hingga pada suatu hari, Mbok Randa Tarub meninggal dunia karena sakit sedangkan Jaka Tarub belum juga menikah. Kepergian Mbok Randa yang telah mengasuhnya sejak kecil membuat Jaka Tarub sangat sedih. Terlebih mengingat ia belum juga menikah saat Mbok Randa meninggal. Sejak kepergian Mbok Randa, Jaka Tarub berubah menjadi seorang pemuda pemalas. Ia sering melamun sendirian karena merasa semangat hidupnya hilang.
Jaka Tarub Melihat Tujuh Bidadari
Pada suatu siang, seperti biasa Jaka Tarub tidur di rumahnya. Di dalam tidurnya ia bermimpi memakan daging rusa amat empuk dan lezat. Ketika bangun tidur, ia merasa lapar dan ingin memakan daging rusa. Ia segera bergegas pergi ke dalam hutan untuk berburu rusa. Dengan tombaknya ia berjalan perlahan di dalam hutan mengintai barangkali ada rusa. Namun setelah sekian lama berkeliaran di dalam hutan, ia tidak juga menemukan seekor hewan buruan pun. Padahal ia sudah memasuki kawasan hutan yang belum pernah ia datangi. Karena merasa lelah, Jaka Tarub kemudian duduk beristirahat di sebuah batu besar. Tidak sadar ia kembali tertidur karena kelelahan. Pada saat tertidur, sayup-sayup ia mendengar suara-suara perempuan tengah bercanda. Ia pun terbangun untuk mencari sumber suara tersebut.
“Aku mendengar suara-suara perempuan. Aku harus mencari tahu siapa mereka?” gumam Jaka.
Setelah mencari-cari arah suara, akhirnya Jaka sadar bahwa suara tersebut berasal dari sebuah telaga. Ia pun mengendap-ngendap di sebuah batu besar di pinggir telaga. Dari balik batu, Jaka melihat ada tujuh perempuan sangat cantik tengah mandi. Ia terperanjat merasa heran, bagaimana mungkin ada tujuh perempuan cantik jelita bisa mandi di tengah pedalaman hutan.
“Sungguh aneh, siapa mereka? Kenapa mereka bisa berada di tengah hutan lebat.” ujar Jaka dalam hati.
Jaka Mencuri Selendang Bidadari
Ketujuh perempuan tersebut sangat luar biasa cantik. Ia tidak pernah melihat perempuan secantik mereka, oleh karena itu ia sangat berhasrat untuk menikahi salah satu dari mereka. Saat ia melihat tujuh selendang tergeletak di pinggir telaga. Jaka Tarub mengambil sehelai selandang kemudian menyembunyikannya.
“Aku ingin menikahi salah satu dari mereka. Sebaiknya salah satu selendang milik mereka aku sembunyikan.” gumam Jaka.
Menjelang sore ketujuh perempuan cantik mengakhiri mandi mereka. Mereka segera berpakaian, mengenakan selendang mereka kemudian terbang ke kahyangan. Jaka Tarub akhirnya mengetahui bahwa mereka adalah bidadari kahyangan.
“Ah pantaslah mereka sangat cantik jelita, rupanya mereka bidadari kahyangan.” ujar Jaka.
Salah seorang dari perempuan yang bernama Nawang Wulan, terlihat kebingungan mencari selendangnya sementara keenam perempuan lainnya telah terbang ke kahyangan.
“Aduh, mana selendangku? Tadi aku simpan di pinggir telaga. Bagaimana ini? Kalau selendangku tidak ketemu, Aku tidak bisa pulang ke kahyangan.” ujar Nawang Wulan terlihat panik.
Nawang Wulan ternyata saudari termuda dari ketujuh bidadari tersebut. Sepeninggal keenam kakaknya, Nawang Wulan menangis tersedu-sedu. Ia merasa takut karena tidak mampu tinggal di dunia manusia. Melihat hal tersebut, Jaka Tarub segera mendekat untuk mengajak berkenalan dan menawarkan bantuan.
“Hai, ada apakah gerangan Adinda menangis sendirian di pinggir telaga? Nama saya Jaka Tarub. Saya tinggal di desa di dekat sini. Apa yang bisa saya bantu?” Jaka berpura-pura menawarkan bantuan.
“Oh, saya kehilangan selendang jadi tidak bisa kembali ke kahyangan.” kata Nawang Wulan.
“Oh, begitu kiranya. Kalau begitu Adinda boleh tinggal di rumahku, daripada tinggal sendiri di dalam hutan. Tidak usah takut, aku akan menjagamu.” kata Jaka.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan tinggal di rumahmu saja.” Nawang Wulan terpaksa menerimanya karena tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Jaka Menikahi Dewi Nawang Wulan
Dewi Nawang Wulan akhirnya tinggal di rumah Jaka Tarub. Tidak lama kemudian mereka menikah dan hidup berbahagia. Terlebih lagi ketika Nawang Wulan mengandung kemudian melahirkan seorang bayi perempuan. Mereka memberinya nama Nawangsih.
Kendati hidup berbahagia beserta anak dan istrinya, Jaka Tarub sudah lama merasa heran karena lumbung padi miliknya tidak pernah berkurang malah justru bertambah. Setiap hari istrinya memasak dengan mengambil beras dari lumbung padinya tapi tidak sedikit pun lumbung padinya berkurang.
“Entah kenapa padi milikku tidak pernah berkurang malah bertambah banyak. Padahal setiap hari istriku memasak.” gumam Jaka keheranan.
Hingga suatu hari, sang istri tengah menanak nasi tapi memiliki keperluan di sungai. Nawang Wulan kemudian berpesan pada suaminya untuk menjaga apinya dan jangan membuka tutup kukusan nasi. “Kakanda, aku sedang menanak nasi tapi ada keperluan sebentar di sungai. Kakanda tolong jagakan api jangan sampai mati atau terlalu besar. Tolong juga Kakanda jangan membuka tutup kukusannya.” kata Nawang Wulan.
“Baiklah. Kakanda akan menjaganya.” kata Jaka. Setelah istrinya pergi ke sungai, Jaka merasa penasaran dengan pesan isrinya untuk tidak membuka tutup kukusan nasi. Karena tidak sanggup menahan rasa ingin tahu, ia kemudian membuka kukusan nasi. Ia merasa kaget ketika mendapati di dalam kukusan hanya ada sebutir beras. “Aneh istriku hanya memasak sebutir beras. Pantas lumbung padiku tidak pernah berkurang.” Jaka berkata dalam hati.
Kesaktian Nawang Wulan Hilang
Ketika Nawang Wulan pulang dari sungai, ia mendapati ternyata di dalam kukusan hanya terdapat sebutir beras.
“Di dalam kukusan hanya ada sebutir beras, berarti suamiku melanggar larangan dengan telah membuka kukusan ini.” kata Nawang Wulan.
Nawang Wulan ternyata memiliki kesaktian yang tidak dimiliki manusia biasa. Ia bisa menanak sebutir padi menjadi sebakul nasi. Nawang Wulan akhirnya mengerti bahwa suaminya telah membuka kukusan tersebut. Walhasil, kesaktian Nawang Wulan yang dirahasiakannya, menjadi musnah. Sebagai akibatnya, kini ia harus berkerja sebagaimana manusia biasa seperti menumbuk padi, menampi hingga menanak beras menjadi nasi. Lambat laun lumbung padi milik Jaka Tarub pun habis.
Dewi Nawang Wulan Pulang Ke Kahyangan
Suatu ketika Nawang Wulan hendak mengambil beras di lumbung padi. Namun sayang beras yang tersedia tinggal sedikit. Ketika mengambil sisa-sisa beras, tiba-tiba menyembul selendang miliknya yang telah lama hilang. Nawang Wulan akhirnya sadar dan marah mengetahui kenyataaan bahwa ternyata suaminyalah yang menyembunyikan selendang miliknya. Ia segera mengenakan selendang tersebut kemudian bergegas menemui suaminya.
“Suamiku. Gara-gara Kakanda membuka tutup kukusan, kesaktianku menjadi hilang dan membuat lumbung padi kita habis. Dan juga ternyata, selama ini engkau menyembunyikan selendangku. Semuanya adalah rencanamu. Sampai disini berakhir sudah hubungan kita. Aku akan kembali ke kahyangan.” kata Nawang Wulan.
“Aku minta maaf istriku. Aku mengakui semua kesalahanku. Tapi tolong jangan pergi tinggalkan aku dan anakmu, Nawangsih.” Jaka Tarub memohon pada istrinya.
“Maaf Kakanda, aku harus pulang ke kahyangan. Tolong jaga baik-baik putri kesayangan kita, Nawangsih. Tolong Kakanda buatkan dangau di dekat rumah. Letakkan Nawangsih setiap malam di dangau. Aku akan datang setiap malam untuk menyusui putri kesayangan kita. Dan tolong jangan mengintip saat aku tengah menysusui Nawangsih. Selamat Tinggal.” Nawang Wulan kemudian terbang ke kahyangan.
Jaka Tarub merasa sedih dan sangat menyesal dengan perbuatannya. Ia segera membuat dangau di dekat rumah. Dan sesuai permintaan istrinya, ia meletakkan putrinya, Nawangsih, setiap malam di dangau untuk disusui oleh Nawang Wulan.
Sejak saat itu, Bondan Kejawan tinggal bersama Ki Ageng Tarub dan diganti namanya menjadi Lembu Peteng. Setelah Lembu Peteng dan Nawangsih tumbuh dewasa, Ki Ageng Tarub pun menikahkan keduanya. Waktu berlalu Ki Ageng Tarub meninggal dunia. Lembu Peteng menggantikan posisinya sebagai Ki Ageng Tarub yang baru. Lembu Peteng dan Nawangsih memiliki seorang putra bernama Ki Ageng Getas Pandawa. Setelah dewasa, Ki Ageng Getas Pandawa memiliki seorang putra yang bergelar Ki Ageng Sela. Panembahan Senopati (Raden Sutawijaya) (1587 – 1601) sang pendiri Kesultanan Mataram, merupakan cicit Ki Ageng Sela.
Jaka Tarub Leluhur Dinasti Mataram
Sejak saat itu, Jaka Tarub menjadi pemuka di desanya dengan gelar Ki Ageng Tarub. Brawijaya, raja Majapahit saat itu, bersahabat baik dengan Ki Ageng Tarub. Suatu hari, Brawijaya menginginkan agar Ki Ageng Tarub merawat keris pusaka miliknya yang bernama Kyai Mahesa Nular. Oleh karenanya Brawijaya kemudian mengirim dua orang utusan yaitu Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan untuk menemui Ki Ageng Tarub. Bondan Kejawan merupakan putra kandung Brawijaya, oleh karenanya Ki Ageng Tarub meminta agar Bondan Kejawan tinggal bersamanya di desa Tarub.Sejak saat itu, Bondan Kejawan tinggal bersama Ki Ageng Tarub dan diganti namanya menjadi Lembu Peteng. Setelah Lembu Peteng dan Nawangsih tumbuh dewasa, Ki Ageng Tarub pun menikahkan keduanya. Waktu berlalu Ki Ageng Tarub meninggal dunia. Lembu Peteng menggantikan posisinya sebagai Ki Ageng Tarub yang baru. Lembu Peteng dan Nawangsih memiliki seorang putra bernama Ki Ageng Getas Pandawa. Setelah dewasa, Ki Ageng Getas Pandawa memiliki seorang putra yang bergelar Ki Ageng Sela. Panembahan Senopati (Raden Sutawijaya) (1587 – 1601) sang pendiri Kesultanan Mataram, merupakan cicit Ki Ageng Sela.