Zaman Megalitikum (mega berarti besar dan lithikum atau lithos berarti batu) disebut juga zaman batu besar. Hasil budayanya berupa bangunan-bangunan besar yang berfungsi sebagai sarana pemujaan kepada roh nenek moyang.
Kebudayaan ini berlangsung hingga zaman logam, bahkan sampai saat ini kita masih dapat menjumpai di berbagai daerah di indonesia sebagai sisa-sisa tradisi budaya Megalitikum. Adapun hasil budaya Megalitikum ini meliputi: menhir, batu berundak, dolmen, kubur batu, sarkofagus, waruga, serta berbagai jenis arca berukuran besar.
1. Menhir
Menhir adalah tugu atau batu yang tegak, yang sengaja di tempatkan di suatu tempat untuk memperingati orang yang sudah meninggal. Batu tegak ini berupa media penghormatan dan sekaligus lambang bagi orang-orang yang sudah meninggal tersebut. Menhir adalah batu yang serupa dengan dolmen dan cromlech, merupakan batuan dari periode Neolitikum yang umum ditemukan di Perancis, Inggris, Irlandia, Spanyol dan Italia. Batu-batu ini dinamakan juga megalith (batu besar) dikarenakan ukurannya. Mega dalam bahasa Yunani artinya besar dan lith berarti batu. Para arkeolog mempercayai bahwa situs ini digunakan untuk tujuan religius dan memiliki makna simbolis sebagai sarana penyembahan arwah nenek moyang.
2. Punden berundak
Punden berundak merupakan bangunan yang di susun secara bertingkat-tingkat yang di maksudkan untuk melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang, bangunan ini kemudian menjadi konsep dasar bangunan candi pada masa hindu-buddha. Struktur dasar punden berundak ditemukan pada situs-situs purbakala dari periode kebudayaan Megalit-Neolitikum pra-Hindu-Buddha masyarakat Austronesia, meskipun ternyata juga dipakai pada bangunan-bangunan dari periode selanjutnya, bahkan sampai periode Islam masuk di Nusantara. Persebarannya tercatat di kawasan Nusantara sampai Polinesia, meskipun di kawasan Polinesia tidak selalu berupa undakan, dalam struktur yang dikenal sebagai marae oleh orang Maori. Masuknya agama-agama dari luar sempat melunturkan praktik pembuatan punden berundak pada beberapa tempat di Nusantara, tetapi terdapat petunjuk adanya adopsi unsur asli ini pada bangunan-bangunan dari periode sejarah berikutnya, seperti terlihat pada Candi Borobudur, Candi Ceto, dan Kompleks Pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri.
3. Kubur batu
Bentuknya mirip seperti bangunan kuburan seperti yang dapat kita lihat saat ini, umumnya tersusun dari batu yang terdiri dari dua sisi panjang dan dua sisi lebar. Sebagian besar kubur batu yang di temukan terletak membujur dari arah timur ke barat.
Pada masa prasejarah ketika kebudayaan Megalitikum berkembang bahwa kubur batu merupakan salah satu dari jenis peninggalan batu-batu besar (megalit). Sedangkan sesuai dengan namanya fungsi dari kubur batu sendiri sebagai tempat penguburan (stonecists) bagi orang-orang yang dihormati di lingkungan masyarakat yang hidup pada masa megalit. Kubur batu ini sudah dilakukan pengamanan dengan cara diberi pagar keliling yang terbuat dari kayu dengan ukuran panjang 5,50 meter dan lebar 5 meter. Sedang bagian atas di beri cungkup seng dengan tiang penyangga dari kayu dan pondasi semen.
4. Sarkofagus
Sejenis kubur batu tetapi memiliki tutup di atasnya, biasanya antara wadah dan tutup berukuran sama. Pada dinding muka sarkofagus biasanya diberi ukiran manusia atau binatang yang dianggap memiliki kekuatan magis.
Sarkofagus sering disimpan di atas tanah oleh karena itu sarkofagus seringkali diukir, dihias dan dibuat dengan teliti. Beberapa dibuat untuk dapat berdiri sendiri, sebagai bagian dari sebuah makam atau beberapa makam sementara beberapa yang lain dimaksudkan untuk disimpan di ruang bawah tanah. Di Mesir kuno, sarkofagus merupakan lapisan perlindungan bagi mumi keluarga kerajaan dan kadang-kadang dipahat dengan alabaster
5. Dolmen
Dolmen merupakan bangunan megalithik yang memiliki banyak bentuk dan fungsi, sebagai pelinggih roh atau tempat sesaji pada saat upacara. Dolmen biasanya di letakan di tempat-tempat yang dianggap keramat, atau di tempat pelaksanaan upacara yang ada hubungannya dengan pemujaan kepada roh leluhur.
Dolmen adalah sebuah meja yang terbuat dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Hal ini menunjukan kalau masyarakat pada masa itu meyakini akan adanya sebuah hubungan antara yang sudah meninggal dengan yang masih hidup, mereka percaya bahwa apabila terjadi hubungan yang baik akan menghasilkan keharmonisan dan keselarasan bagi kedua belah pihak.
6. Arca batu
Arca batu banyak di temukan di beberapa tempat di wilayah indonesia, diantaranya pasemah, Sumatra Selatan dan Sulawesi Tenggara. Bentuknya dapat menyerupai binatang atau manusia dengan ciri Negrito. Di Pasemah ditemukan arca yang dinamakan Batu Gajah, yaitu sebongkah batu besar berbentuk bulat diatasnya terdapat pahatan wajah manusia yang mungkin merupakan perwujudan dari nenek moyang yang menjadi objek pemujaan.
Dalam agama Hindu, arca adalah sama dengan Murti (Dewanagari: मूर्ति), atau murthi, yang merujuk kepada citra yang menggambarkan Roh atau Jiwa Ketuhanan (murta). Berarti “penubuhan”, murti adalah perwujudan aspek ketuhanan (dewa-dewi), biasanya terbuat dari batu, kayu, atau logam, yang berfungsi sebagai sarana dan sasaran konsentrasi kepada Tuhan dalam pemujaan.Menurut kepercayaan Hindu, murti pantas dipuja sebagai fokus pemujaan kepada Tuhan setelah roh suci dipanggil dan bersemayam didalamnya dengan tujuan memberikan persembahan atau sesaji. Perwujudan dewa atau dewi, baik sikap tubuh, atribut, atau proporsinya harus mengacu kepada tradisi keagamaan yang bersangkutan.
7. Waruga
Waruga adalah kubur batu yang tidak memiliki tutup, waruga banyak ditemukan di situs Gilimanuk, Bali.
Waruga adalah kubur atau makam leluhur orang Minahasa yang terbuat dari batu dan terdiri dari dua bagian. Bagian atas berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk kotak yang bagian tengahnya ada ruang.